Tegas
Hari demi hari telah berlalu, tak terasa
sudah hampir sebulan aku berusaha bersikap biasa terhadap shandy, meskipun
terkadang rasa sakit itu menghampiri. Meskipun menurut ku semua telah berlalu
dan shandy telah memilih, ledekan dan candaan teman-teman ku terhadap aku dan
shandy tak kunjung berhenti, semakin lama semakin sering kami di jadikan bahan
untuk candaan mereka, ya meskipun hanya bercanda, tetapi sakit itu terasa.
Puncaknya terjadi saat hari rabu sepulang aku ujian praktek, . Saat itu aku,
Shandy, Rino setuju untuk berlatih teater bersama. Ya, aku dan shandy memang
disatukan dalam kelompok teater untuk pengambilan nilai seni budaya bersama
Rino.
Ketika itu aku sedang duduk sendiri di
lorong kelas untuk menunggu Shandy dan Rino yang sedang mengambil nilai ujian
praktek untuk mata pelajaran olah raga. Kesal ku menunggu sendiri, akhirya ku
minta Ciko, teman sekelas ku untuk memanggil Shandy dan Rino yang memang
sepertinya mereka sudah selesai mengambil nilai. Namun, mereka tak kunjung
keluar juga. Aku menunggu dan menunggu. Untuk kedua kalinya, aku meminta Rani,
teman sekelas ku juga yang sedang berjalan menuju gerbang sekolah untuk pulang.
“Ran, lo mau pulang ya??? lewat kelas A5 kan?” Tanyaku pada Rani, “oh iya Kin,
emang kenapa?” jawab Rani, dan Tanya Rani kembali. “ouh, ngga Ran, gua Cuma mau
minta tolong. Kalo gitu tolong panggilin Shandy sana Rino ya suruh cepetan, gua
mau les nanti.” Minta tolong aku pada Rani. “oh oke deeh..” jawab Rani singkat
sambil berjalan menuju kelas A5. “thanks ya Ran,” kata ku berterima kasih.
“okee Kin,” balas Rani.
Beberapa menit kemudian Rino dan Shandy
pun keluar kelas dan menghampiri ku sambil membawa sepatu mereka masing-masing.
Kesal ku menunggu, diam ku beberapa menit sampai Rino memulai pembicaraan. “lama
ya Kin? Maaf yaa kasian temen gua yang satu ini” kata Rino memulai pembicaraan.
“ah ngga kok, baru sejam yang lalu” jawab ku ketus. “yaah iya maaf deeh.” Jawab
nya singkat dengan rasa bersalah. “ya udah lah lajut langsung latian yuk, gua
mau les nih.” Kata ku meminta, “hempt ayo-ayo mulai, siapa duluan nih?” mengiyakan
Rino dan bertanya pada ku dan Shandy. “Shandy duluan Rin, ayo Shan mulai.” Kata
ku meminta Shandy sang tokoh utama untuk memulai latihan.
Disaat kami sedang latihan, Pak Sony guru
olahraga ku datang menghampiri kami, lalu berkata “kalian kenapa deh? Kalo di
panggil Kina tuh langsung pada keluar gitu?” Tanya pak Sony yang mungkin heran.
“ah si bapak kaya engga tau Kina aja” ledek Rino. “kalian suka yaa sama Kina?”
Tanya Pak Sony yang kepo sekali. “ah si bapak, uda ada noh paak, yang duduk
disamping nya” ledek Rino terus-terusan. Kesal perasaan ku saat itu namun aku
hanya bisa terdiam. Lalu Pak Sony berlalu meninggalkan kami, dan kami pun
melanjutkan berlatih teater.
Beberapa menit kemudian ketika aku, Rino,
Shandy, dan 2 teman ku yang lain sedang asik tertawa, Pak Sony menghampiri
lagi. “Pak, mana pulsanya? Katanya mau ngirimin saya pulsa?” ledek aku pada Pak
Sony. “tuh beliin pulsa gih.” Suruh Pak Sony pada Shandy dan lagi-lagi aku
merasa kesal dengan ledekan itu. “dih kenapa minta sama dia deh pak?” Tanya ku
pada Pak Sony dengan nada sensi. “yaa kan katanya pacar kamu.” Ledek pak Sony
padaku lagi, aku pun berusaha menahan kekesalan itu. “nyeeeh dia bukan pacar
saya pak, orang pacarnya adek kelas!” Kataku menegaskan prasangka Pak Sony
dengan kesal yang hampir menuju klimaks , tapi sayang ucapanku tak didengarnya.
“iya bukan sekarang tuh pak maksudnya.” Sambar Rino ikut meledekku. Aku pun
cemberut dibelakang punggung Pak Sony yang besar itu. “yauda terserah kalau
kalian mau pacaran atau engga, saya sih cuma mau pesan aja, suka-sukaannya
nanti aja ya setelah UN jadi kan kalo emang di tolak atau apa, sakitnya setelah
UN.” Pesan Pak Sony yang menurutku salah. “yeeh orang sebelum UN juga uda sakit
duluan kaleee” kataku membatin. “yauda saya balik dulu ya.” Kata Pak Sony
pamit. “yauda gua balik juga, uda cukup kan latiannya. Daah” pamit aku dan
langsung berlalu dari hadapan mereka dengan secepat kilat. “yaa allah, kenapa
disaat gua mau ngelupain itu orang, ada aja halangannya, ledekannya lah.
Batinnya engga sanggup buat nahan itu semua. Dia punya orang lain, dan gua
engga boleh mikirin orang yang uda punya pacar!!” kataku kesal pada batin
sendiri sambil berjalan menuju parkiran dan pulang dengan si Putih.
#
Setibanya di rumah, aku langsung
memasukkan si Putih ke dalam ruang tamu dan membersihkan diri. Setelah itu aku
mulai berfikir, bahwa semua perasaan dan sikap itu engga bisa terus dibiarkan.
Dia sedang dengan yang lain, tapi seperti memberikan harapan yang tak pasti
kepadaku. Bilang cinta dengan yang lain, tapi bilang sayang denganku lewat mereka-mereka
yang terlibat dalam persoalan ini. Kesal, marah, heran, bingung, kecewa semua
menjadi satu sehingga tak tau apa bentuk perasaan ku saat ini. Mencoba
meneriakkan semuanya tapi bibir ini terasa terkunci, mencoba menangis, tapi air
suci ini tak kunjung datang, mencoba menenangkan diri, tapi ketenangan itu tidak
tiba juga. Jadi, aku paksakan untuk terus berfikir cara untuk keluar dari
belenggu yang begitu rapat ini.
Keesokan harinya, ujian praktek seni
budaya pengambilan nilai teater pun dimulai, di awali dengan kelompok Tasya,
lalu berlanjut ke kelompok ku. Yaa layaknya seorang artis, aku berusaha
professional saat menjalankan teater itu, tanpa memikirkan Shandy yang
sebenarnya malas untuk aku temui. Ya, teater berjalan lacar, aku, Shandy, dan
Rino kembali ke tempat duduk masing-masing, Shandy dan Rino duduk di belakang
ku persis. Ku dengar pembicaraan mereka yang sepertinya begitu serius, dan terdengar
bahwa Shandy akan serius dengan hubungannya yang sekarang sedang dijalani.
Sakit terdengar tapi senang kurasa, karena aku akan terbebas dari Shandy yang
kurasa tidak cukup konsisten dengan diri dan tindakannya. Dan aku pun akan
terlepas dari harapan-harapan yang tak pasti.
#
Namun, aku masih sangat merasa janggal
dengan semua ini, masih ada hal yang memang harus diselesaikan. Saat aku sedang
terdiam memandangi laptop biru kesayangan ku, terlintas sebuah ide untuk
menyelesaikan masalah batin yang baru beberapa bulan kurasakan tapi sungguh
menyiksa. “ahaaa, mending besok gua ngomong langsung aja sama dia, bodo deh
gengsi di buang dulu. Yang penting gua ngga membantin sama itu orang.” Kata ku
berbicara sendiri dan meyakinkan bahwa aku bisa melakukannya. Kini ketenangan
itu mulai tiba, aku pun terlelap tidur dalam balutan mimpi yang samar tapi membuat
hati terasa lebih ringan.
Keesokan harinya, aku meminta pendapat
kepada Riska, teman ku dan teman shandy perihal ide yang baru aku temui
kemarin. “waah bagus tuh Kin, lo berani emang gua yang ngga berani ngomong sama
Dion soal perasaan gua yang menyiksa.” Kata Riska setuju dengan ideku, “hempt
yauda deh nanti gua ngomong sama dia, waaah Ris, ayolah ngomong jangan gengsi.”
Kataku menyemangati. “hey gua beda sama lo, tapi gua suka cara lo.” Kata Riska
dan aku hanya bisa tersenyum tipis. Lalu kusiapkan mental dan ketegaran serta
ketegasan untuk berbicara pada Shandy sepulang sekolah tanpa ada yang tau,
kecuali Riska. Perlahan ku berjalan menghampiri Shandy yang sedang menghafal
dialog bahasa inggris untuk pengambilan nilai speaking hari ini. “Shan,
sepulang sekolah gua mau ngomong sama lo, gua tunggu di kelas A5.” Kata ku
tegas. “iya.” Kata Shandy meng-iyakan dengan sambil menghafal dialog antara ia
dan Rino.
Ketika aku dan Fika selesai mengambil
nilai speaking untuk bahasa inggris, aku langsung beranjak bersama Riska ke
ruang kelas untuk menunggu Shandy. Sengaja ku mengajak Riska untuk menjadi penengah
antara aku dan Shandy, mungkin lebih tepatnya sebagai juru bicara Shandy yang
sepertinya hanya bisa diam ketika aku berbicara dari awal sampai akhir. “duduk
sini Shan,” kataku memberika satu kursi untuknya, dia hanya bisa diam dan
menuruti ajakan ku. “oke gini, gua Cuma mau ngelurusin masalah antara gua sama
lo, jujur batin gua agak kesiksa Shan, sama semua ucapan dan tingkah lo.
Sekarang ini lo kan lagi jalan sama si ade kelas, tapi kenapa lo masih nunjukin
semua perasaan lo ke gua? Kan uda gua bilang dari awal, kalo emang lo udah
pilih dia, yauda tinggalin gua, lepas gua dan lupain gua jangan kaya masih
ngasih harapan gitu.” Kataku dengan nada berusaha untuk santai. “yaa kan lo tau
sendiri Kin alasannya kenapa gua milih dia.” Kata Shandy singkat. “iya gua tau,
tapi itu kan uda jadi pilihan lo, yauda jalanin aja pilihan lo yang sekarang
terima semua konsekuensi nya. Jangan lo jalan sama dia iya tapi masih ngasih
sinyal ke gua.” Jawabku kesal karen jawabannya yg begitu singkat. “hempt yauda
sekarang maunya lo gimana Shan?” Tanya Riska pada Shandy untuk menegaskan kelanjutan
permasalahan ini. “gua akan tetap ikutin hati gua.” Jawab Shandy. “maksud lo?”
Tanya ku heran. “iya gua akan ikutin kata hati gua Kin?” jawab Shandy
mempertegas. “gua engga ngerti, tapi yaudalah yaa terserah lo gimana tapi satu
jangan sampe cewe lo sakit hati gara-gara masalah ini.” Kata ku mempertegas.
“ehm jadi Kin, lo tetap sama komitmen lo?” Tanya Riska padaku. “insyaallah iya
Ris, engga ada yang bisa ngubah itu. Gua akan tetep focus sama UN.” Jawab ku
pada pertanyaannya Riska. “oh bagus deh
kalo emang begitu.” Respon Riska pada jawaban ku. “yauda ya Shan, itu aja yang
gua mau omongin, pada intinya sekarang lo jalanin aja dulu sama ade kelas itu,
dan jangan pernah ngasih harapan itu lagi ke gua sampe kapan pun, capek gua
nya. Dan tolong jangan sakitin dia, kasian tuh dijadiin tumbal sama lo.” Kata
ku, “kita temenan aj terus yaaa, yauda gua mau balik duluan yaa, capeek.
Makasih ya Shan, makasi Ris. Daah.” Kataku tersenyum lega sambil keluar ruang
kelas A5 dan menuju parkiran sendiri. Yeeah lega ku rasa saat ini. Dan berusaha
mencoba berlaku seperti biasa pada Shandy untuk besok dan seterusnya. Bukannya
sebagai perempuan yang tidak punya malu, hanya saja aku ingin menegaskan semua
nya menjadi sesuatu yang pasti. Dan menegaskan bahwa perasaan ku bisa dan mampu
tanpa baying-bayang Shandy.
EnD
Komentar
Posting Komentar